Reforma Agraria Hutan Jawa

KHDPK yang menjadi peluang baru reforma agraria di hutan Jawa ini disambut baik oleh berbagai pihak, terutama petani dan masyarakat perdesaan yang dirundung konflik agraria sejak lama. Sebelumnya, reforma agraria di hutan Jawa menemui jalan buntu dan diterpa kerumitan. Misalnya saja melalui ketentuan kawasan hutan di setiap provinsi di Pulau Jawa diharuskan tidak boleh kurang dari 30 persen.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada awal April 2022 telah mengesahkan Surat Keputusan Menteri Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) terhadap sebagian hutan negara yang berada di kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten. KHDPK merupakan areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bidang Kehutanan seperti Perum Perhutani, pada sebagian hutan negara yang berada dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung di empat provinsi yang berada di pulau jawa.

Adapun areal yang sudah ditetapkan sebagai KHDPK ini kurang lebih seluas 1.103.941 hektar, dengan rincian hutan produksi dengan luas sekitar 638.649 hektar (58 persen) dan hutan lindung sekitar 465.294 hektar (42 persen). Kementerian LHK akan mengalokasikan KHDPK ini untuk kepentingan perhutanan sosial, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan—yang menjadi dasar pelepasan kawasan hutan untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Baca juga : Delapan Perusahaan Dibawah Grup Ini Diduga Langgar Hukum Tanam Sawit di Kawasan Hutan

Kebijakan KHDPK ini diharapkan menjadi jalan untuk mencapai target pemerintah yakni reforma agraria 9 juta hektar, dengan 4,1 juta hektar di antaranya berasal dari pelepasan kawasan hutan. Tanah KHDPK seluas 1,1 juta hektare yang bisa ditetapkan sebagai TORA akan menjadi dasar redistribusi tanah kepada petani dan masyarakat perdesaan di sekitar hutan. KHDPK juga dapat menunjang SK Menteri LHK Nomor 698/MENLHK/SETJEN/PLA.2/9/2021 tentang Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH).

Sementara dengan KHDPK ini peraturan itu tidak lagi menjadi pedoman umum. Karena dapat diartikan bahwa areal kerja atau pengelolaan tanah BUMN Bidang Kehutanan di Pulau Jawa semisal Perum Perhutani, yang sebelumnya mencapai lebih dari 2,5 juta hektar akan berkurang dengan KHDPK ini. Meskipun Menteri LHK dalam rapat dengan Komisi IV DPR secara terang menjelaskan bahwa KHDPK dibuat bukan untuk menarik wilayah kelola Perum Perhutani, karena selama ini belum pernah ada keputusan dari Menteri LHK yang mengatur wilayah hutan mana yang dikelola oleh Perum Perhutani.

Meskipun dinilai kebijakan yang populis, memberikan kepastian hak atas tanah masyarakat dapat merombak ketimpangan dan mampu mengentaskan kemiskinan, Keputusan Menteri LHK 287/2022 dikritik oleh beberapa kalangan seperti karyawan Perum Perhutani dan dikhawatirkan oleh sebagian Anggota Komisi IV DPR. Serikat Karyawan Perum Perhutani dalam berbagai kesempatan seperti saat aksi unjuk rasa pada 18 Mei 2022 lalu menyatakan bahwa dengan areal pengelolaan kerja yang berkurang akan berdampak pada kelestarian hutan, keberlanjutan operasional perusahaan dan kelangsungan kerja karyawan.

Baca juga : Lisensi dan Perizinan Bidang Pertambangan

Pihaknya juga menilai bahwa rakyat belum sanggup mengelola tanah kehutanan yang selama ini digarap oleh Perum Perhutani. Padahal KHDPK ini dapat dimaksudkan sebagai manifestasi dari konstitusi UUD 1945 dan tindak lanjut atas ungkapan Presiden Joko Widodo pada 2019 lalu. Presiden sempat menyampaikan telah menerima laporan sebanyak 528 konflik antara masyarakat dengan Perum Perhutani.

Banyak juga ditemui tanah petani, permukiman padat penduduk, fasilitas sosial, fasilitas umum dan desa definitif yang diklaim masuk ke dalam peta kerja Perum Perhutani. Berdasarkan itu Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Perum Perhutani tidak boleh berbisnis dengan rakyat, jangan bersikap seperti penjajah, jangan sampai "lebih kolonial" dari kolonial.

Sementara itu beberapa anggota Komisi IV DPR mengingatkan pemerintah agar KHDPK ini jangan justru menjadi jalan deforestasi di Pulau Jawa. Deforestasi hutan jawa tentu akan berpengaruh pada kerusakan lingkungan dan memicu perubahan iklim yang lebih ekstrim secara nasional. Sesungguhnya kekhawatiran karyawan Perum Perhutani dan beberapa anggota Komisi IV DPR ini cukup beralasan dari satu sudut pandang. Namun para pihak juga seyogianya menimbang aspek yang lebih luas lagi.

Berbagai konflik rakyat di hutan Jawa sudah bergulir menahun dan tak kunjung terselesaikan. Hal ini jika disadari menjadi salah satu penyebab utama petani gurem lebih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa. Berdasarkan pemikiran yang sederhana, petani dan masyarakat yang nantinya sebagai penerima TORA melalui KHDPK ini akan sangat kecil kemungkinan merusak tanah, hutan dan alam. Karena petani dan masyarakat perdesaan itu tinggal di sekitar wilayah yang ditetapkan sebagai KHDPK tersebut. Apabila hutan dan lingkungan rusak, kehidupan para petani dan masyarakat juga akan ikut rusak.

Hanya saja salah satu dasar hukum dari Keputusan Menteri LHK 287/2022 ini masih menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa UU Cipta Kerja saat ini telah diputuskan Mahkamah Konstitusi berstatus Inkonstitusional Bersyarat dan mesti diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun (dimulai sejak November 2021). Sehingga untuk sementara waktu pemerintah tidak diperkenankan mengeluarkan peraturan dan kebijakan starategis yang mengacu pada UU Cipta Kerja.

Baca juga : Jenis-Jenis Perizinan Usaha Pertambangan Menurut UU Minerba

Meskipun tidak secara terang tanah yang diberikan kepada petani dalam bentuk hak milik, melainkan melalui izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan, ketentuan ini bisa menjadi penguat reforma agraria terkhusus di Pulau Jawa. Oleh karena itu, berbagai peraturan di atas sesungguhnya bisa dijadikan sebagai alternatif dan penguat substansi dari Keputusan Menteri LHK 287/2022. Dengan demikian peluang reforma agraria terutama yang berasal dari kawasan hutan di pulau jawa akan tetap terjaga.

Sebetulnya Menteri LHK tak perlu mendasari kebijakan KHDPK dengan UU Cipta Kerja, karena mandat TORA di kawasan hutan sudah ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Peraturan Presiden RI Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Peraturan Presiden RI Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Kemudian juga dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 tahun 2019 tentang Jaminan Luasan Lahan Pertanian. PP ini merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. UU 19/2013 dan PP 65/2019 mengatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan jaminan luasan lahan pertanian seluas dua hektar kepada petani yang sudah bertani selama lima tahun berturut-turut.

Comments

Popular posts from this blog

Hijaukan Lahan Hutan di Ngawi, Perhutani Bekerja Sama dengan IIK Perhutani Cabang Ngawi

20 Ribu Hektare Hutan Tulungagung capai 20 ribu Terjadi Deforestasi dan Degradasi

Aliran Sungai Sebagai Pusat Peradaban